lembar forum

2 komentar:

  1. Malpraktik dan Urgensi Peradilan Profesi Kedokteran
    Oleh : Nur Kholish Majid

    Pemberitaan media mengenai adanya dugaan telah dilakukannya tindakan malpraktek medis, nampaknya telah menjadi suatu warta publik yang telah lekat dalam kondisi sosial masyarakat kita. Dugaan kelalaian pelayanan kesehatan yang banyak dilaporkan masyarakat kepada pihak berwajib, dinilai oleh sebagian besar kalangan sebagai manifestasi atas kasus malpraktik kedokteran. Sifat awam masyarakat dalam membedakan mana tindakan malpraktik, kecelakaan dan kelalaian dalam sebuah tindakan medik, menjadi problema tersendiri betapa urgent-nya pemberlakukan UU tentang Praktik Kedokteran dan Hak Serta Kewajiban Pasien. Apalagi jika kita meng-iya kan temuan National Health Service (NHS) yang menyebutkan bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian medik yang lain.
    Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktik harus mendapat prioritas penanganan saat ini. Aspek hukum sebagai salah satu kekuatan untuk melindungi pasien harus ditegaskan dan diperjelas lagi ruang lingkup serta batasannya. Memang, beberapa ketentuan pasal KUHP masih dapat difungsikan untuk membentengi hak-hak “konsumen” dari dugaan malpraktik medis yang terindikasi kedalam perbuatan / delik pidana. Namun pada prakteknya, ketentuan pidana sebagaimana telah tersurat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut dinilai kurang mempunyai daya jerat yang ampuh tanpa didukung oleh suatu wet / undang-undang khusus yang memiliki kekuatan dalam lingkar profesi medis.
    Pasal 359 dan 360 KUHP dalam konteks dugaan kelalaian (culpoos) dapat kita pergunakan sebagai salah satu reference. Hanya saja, permasalahan baru seketika pula akan muncul tatkala bersinggungan dengan kapabilitas penyidik dalam memahami persoalan “dugaan kelalaian” tersebut, mulai dari polisi, jaksa hingga Hakim.
    Pada kondisi ini, biasanya tuntutan hukum atas diri pelaku menjadi tidak jelas (obscuure libel). Lemahnya profesionalisme aparat hukum dalam bidang kedokteran, serta kuatnya hegemoni organisasi profesi kedokteran terhadap rekan sejawat (spirit of corps) kerap kali dituding sebagai faktor penyebab ringkih-nya intervensi hukum dalam menjerat para pelaku tindak pidana kelalaian medis.
    Hal ini makin diperparah dengan adanya praktek-praktek mafia peradilan dalam lingkungan Peradilan umum Nasional, serta mengakarnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia.
    Keunikan hubungan antara pasien-dokter terletak pada aspek hukum dan etis yang melandasinya (etikolegal). Sebagai sebuah hukum alamiah tertinggi sejak dulu, pedoman-pedoman profesional secara etis dianggap telah melampaui batas-batas yang dikehendaki oleh hukum. Jika demikian halnya, maka dalam konsep etikolegal, sebenarnya pada setiap pelanggaran hukum, sudah dapat di pastikan telah terjadi pelanggaran etik, akan tetapi perlu dicermati kembali bahwasanya dalam mengungkap kebenaran hukum secara material (untuk dapat diklaim secara tepat perihal adanya dugaan pelanggaran etik sebagai sebuah bentuk pelanggaran hukum /wedderechttelijkheid), bukan merupakan suatu hal yang sederhana.
    Di sinilah diperlukan adanya sebuah regulasi yang menjelaskan secara spesifik tentang hak dan kewajiban pasien-dokter dalam sebuah interaksi terapeutik. Karena hak dan kewajiban pasien-tenaga medis (dokter) belum cukup jelas diatur dalam KUHP yang kita pedomani. Pun tak terkecuali terhadap UU Kesehatan No. 23 tahun 1992. BAB X tentang Ketentuan Pidana belum juga memadai dalam menjelaskan jenis-jenis pelanggaran atas hak seorang pasien yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dalam transaksi terapeutik.
    Untuk itulah pada setiap proses diagnosis, umumnya para tenaga medis melengkapi setiap pasien dengan catatan hasil rekam medis (medical record), sehingga komunikasi dapat tetap terbangun secara maksimal. Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah perlunya ditetapkan sebuah prosedur standar operasional (Standard Operational Procedure/SOP) pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sehingga terdapat acuan tindakan terapeutik secara tepat yang dapat dijadikan sebagai dasar pembenaran atas tindakan yang diambil dokter dalam melindungi hak-hak pasien, baik dari tindakan malpraktik, kecelakaan maupun kelalaian tindakan medik.
    Hal ini terlihat kontras apabila sejenak kita cermati laporan dari Bank Dunia (World Bank) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2003 lalu, tercatat 70 % (persen) dokter Indonesia tidak membuat medical record atau catatan medik perkembangan penyakit serta terapi yang seharusnya diberikan pada pasien. Hal ini tentunya mampu menjadi sebuah koreksi / kritik konstruktif, bagi organisasi profesi kedokteran. Kedepan, organisasi profesi ini perlu untuk melakukan pembenahan ulang mengenai tata prosedur perawatan medis ke arah yang lebih baik, professional serta berdedikasi penuh terhadap masyarakat.
    Diharapkan dengan ditetapkannya UU Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 (yang bertujuan melindungi pasien, melindungi dokter, dan meningkatkan mutu pelayanan), maka akan ada kejelasan terhadap perlindungan “konsumen” kesehatan di Indonesia, sehingga dapat dipastikan bahwa hak-hak pasien akan tetap mendapatkan perhatian, minimal diperolehnya hak-hak mereka atas informed consent, semacam pemberitahuan mengenai penyakit pasien kepada dokter, tindakan apa yang akan dilakukan, serta risiko apa yang mungkin akan terjadi dari suatu tindakan medik, sebelum tindakan itu dilakukan padanya, serta medical record, sebagai langkah preventif ( bagian dari upaya perlindungan hukum ) atas diri dokter dan pasien.
    Peradilan Profesi Kedokteran
    Konsekuensi logis dari penerapan UU khusus tentang Praktik Kedokteran dan Hak-Kewajiban Pasien adalah dibentuknya Peradilan Profesi Kedokteran. Kehadiran peradilan profesi kedokteran ini bukan untuk menegaskan kembali eksklusivitas yang selama ini terbangun di dalam wadah profesi medis, tetapi justru sebaliknya, membawa prospek kesadaran hukum baru bagi masyarakat, khususnya “konsumen” kesehatan di Indonesia.
    Munculnya peradilan profesi dalam dunia kedokteran, selain karena adanya political history yang melatarbelakanginya, juga adalah sebagai upaya peningkatan mutu serta profesionalitas tenaga kesehatan kita menuju perspektif keotonomian profetik.
    Peradilan profesi ini dibentuk untuk menjawab kesenjangan yang terjadi selama ini. Di sisi lain, peradilan umum sangat ditentang oleh kalangan medis karena mereka merasa bahwa peradilan jenis ini tidak memiliki cukup keahlian untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan. Sedangkan di lain sisi, meskipun sebelumnya telah ada sebuah majelis yang secara khusus menangani permasalahan etis kedokteran yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), akan tetapi independensinya masih diragukan publik karena lebih cenderung membela kehormatan korps.
    Sekali lagi ditegaskan bahwa relationship antara dokter-pasien bukan semata-mata didasarkan pada posisi antara penyedia (medical providers) dan pengguna jasa (medical receivers) saja, akan tetapi lebih bersifat equal yaitu pasien mempercayakan otoritasi penanganan kesehatannya kepada dokter, sedangkan dokter sendiri berkewajiban untuk tetap menghormati hak-hak pasien.
    Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka peradilan profesi lebih rasional dimunculkan dalam bentuk pengadilan ad hock. Jika terdapat sengketa medik, sudah sepantasnya peradilan profesi masuk kedalam kompetensi peradilan umum setelah sebelumnya mendapatkan penanganan dari majelis etik maupun disiplin.
    Pilihan ini diangkat karena kekhawatiran akan bertentangannya peradilan profesi dengan sistem peradilan di Indonesia berdasarkan UU Pokok Kehakiman, yang hanya mengenal empat kamar, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha, dan peradilan militer.
    Dalam model ini, hakim ad hock berasal dari unsur kedokteran. Untuk menguatkan pengadilan ad hock kedokteran ini, maka ke depan sudah selayaknya pemerintah memikirkan kembali upaya pembentukan dewan pengawas majelis dengan domain kerja mengawasi indepedensi majelis peradilan profesi kedokteran dengan melibatkan beberapa anggota yang berasal dari unsur eksternal. Diantaranya adalah, aparatur penegak hukum, akademisi, tokoh masyarakat, kalangan intelektual serta aktivis LSM.
    Sistem ombudsman yang telah lama berlaku di Skandinavia juga dapat di adopsi di Indonesia untuk memastikan bahwa pelayanan kesehatan tidak melanggar aturan-aturan yang telah ada. Sehingga implikasi positif dari hubungan dokter-pasien dalam setiap transaksi terapeutik dapat tercapai.

    BalasHapus
  2. PENANGKAPAN KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
    Oleh : Nur Kholish Majid

    Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, secara resmi telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain.
    Hal ini secara resmi diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan, SH dalam jumpa pers hari sabtu 2 mei 2009 di Gedung Bundar, Jakarta. Dalam keterangan resminya, Jasman Panjaitan menerangkan bahwa “salah satu tersangka dan merupakan aktor intelektual adalah Antasari Azhar”.
    Keterangan penetapan Antasari azhar sebagai tersangka, ungkap Jasman, diterima oleh Kejaksaan Agung dari Mabes Polri melalui surat yang diteken secara resmi oleh Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komisaris besar Polisi Susno Duadji, sehari sebelum penetapan Antasari sebagai tersangka.
    Isi surat tersebut menerangkan bahwasanya berdasarkan penyelidikan serta penyidikan yang telah dikembangkan secara intensif oleh Mabes Polri, menunjukkan bukti bahwa Antasari Azhar merupakan salah satu tersangka sekaligus menjadi dalang atau aktor intelektual dibalik kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain yang terjadi tanggal 14 maret 2009 silam.
    Selain menerima surat penetapan tersangka, kata Jaksa Agung Muda Intelijen, Whisnu Subroto SH, Kejaksaan Agung juga menerima surat terkait pembunuhan Nasrudin. Dengan alasan itulah pihak Kejaksaan Agung segera menerbitkan surat pencekalan bepergian ke luar negeri terhadap Antasari.


    Berawal dari Pesan Ancaman?
    Pada awalnya Antasari dengan Nasrudin, ungkap Boyamin Saiman (Tim Advokasi Almarhum) merupakan kawan akrab. Keduanya bahkan bekerjasama dalam upaya pemberantasan kasus korupsi di tubuh PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), yang merupakan induk dari PT. Putra Rajawali Banjaran. Namun keakraban ini buyar tatkala keduanya terlibat perselisihan mengenai seorang wanita dengan inisial K.
    Wanita ini di sebut-sebut sebagai istri ke tiga dari Nasrudin. Pertikaian tersebut rupanya mengakibatkan Antasari gerah. Nasrudin yang kecewa dengan Antasari perihal skandal tersebut, berniat membongkar skandal perselingkuhan itu kepada publik. Antasari khawatir reputasinya akan hancur jikalau skandal asmara yang melibatkan dirinya tersebut sampai di ekspose secara besar-besaran oleh Nasrudin melalui media massa.
    Menurut Boyamin, Antasari telah mengetahui rencana itu dua hari sebelum Nasrudin dibunuh. Saat itu Nasrudin sudah mengumpulkan beberapa advokat yang akan dipergunakan sebagai media pem-back up rencana ekspose besar-besaran skandal asmara Antasari Azhar ke media.
    Hal tersebut diketahui berdasarkan bukti pesan singkat (sms) yang diduga dikkrimkan oleh Antasari ke nomor hand phone korban. Isinya menerangkan agar skandal asmara tersebut jangan sampai ter-ekspose ke publik, tetapi diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Bahkan secara tertulis Antasari siap untuk meminta maaf kepada korban. Namun di akhir pesan singkat tersebut, ungkap Boyamin, ada pesan bernada ancaman, jika Nasrudin mengungkapkan kasus tersebut kepada media, maka “resikonya tahu sendiri”.

    Konspirasi Tingkat Tinggi.
    Terlepas dari asumsi yang berkembang di kalangan publik yang menyatakan bahwa Antasari Azhar adalah aktor intelektual dibalik kasus pembunuhan ini, para aparatur penegak hukum harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip humanisme dan asas hukum presumption of Innosence (asas praduga tak bersalah). Karena untuk membuktikan tuduhan tersebut sah di mata hukum, pengadilan harus menyidangkan perkara tersebut sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta memperoleh putusan inkracht dari hakim.
    Namun, segala bentuk trik dan intrik dalam dunia politik hukum nasional nampaknya perlu juga mendapatkan sorotan. Bisa saja tuduhan yang dialamatkan kepada Antasari Azhar itu benar, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pihak-pihak lain yang secara sengaja memanfaatkan kondisi tersebut untuk mengambil keuntungan.
    Kita telah ketahui bersama bahwasanya track record dari Antasari Azhar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia cukup ampuh untuk membuat ciut nyali para koruptor. Tak hanya skandal korupsi pejabat daerah saja yang dapat dibongkar oleh KPK, secara mengejutkan langkah-langkah progressif yang diterapkan oleh ketua KPK ini berhasil mencokok sejumlah nama anggota legislatif pusat yang terbukti terlibat skandal korupsi. Sebut saja Al-Amin Nur Nasution dari fraksi Persatuan Pembangunan serta Yusuf Emir Faisal dari Fraksi Kebangkitan Bangsa.
    Tak heran jika pada kemudian nantinya, sikap tak kenal kompromi tersebut menimbulkan potensi konflik antara masing-masing pihak, termasuk sikap antipati terhadap sosok Antasari Azhar hingga berujung pada jatuhnya korban.
    Sedikit menggarisbawahi bahwasanya kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain ini sekali lagi bukan sekedar pembunuhan biasa. Sedikit banyak modus operandi yang terjadi dalam kasus ini, serupa dengan motif pembunuhan yang menimpa Udin, seorang wartawan senior harian lokal di Jogjakarta serta Cak Munir, seorang tokoh sekaligus pejuang Hak Asasi Manusia asal Malang Jawa Timur.
    Bukan perkara mudah bagi aparat penegak hukum untuk membongkar konspirasi politik tingkat tinggi ini. Para mafioso hukum di negara ini telah membuat suatu sindikasi tertentu guna mengamankan diri serta kelompok mereka dari jeratan hukum, dengan tanpa dan tak tersentuh hukum sama sekali. Sekali kasus ini terbongkar, bukan tidak mungkin nama-nama pejabat pemerintah di beberapa depertemen negeri ini akan turut tercoreng.
    Namun penulis dalam hal ini tidak akan berspekulasi mengenai siapa, dan apapun alasannya. Yang pasti adalah, bahwa penegakan hukum atas setiap tindakan melanggar hukum di negara ini harus tetap ditegakkan. Hukum tidak boleh kalah dengan sosok individu. Atas nama supremasi hukum, aparat penegak hukum diminta untuk bekerja ekstra keras guna menguak tragedi pembunuhan ini.
    Mungkin ada benarnya anekdot yang berkembang dalam masyarakat kita yang mengatakan bahwa kehancuran manusia di muka bumi ini berawal dari sifat rakus manusia itu sendiri akan kilau harta, tahta dan merdu manja seorang wanita. Dengan harta, seseorang bisa berbuat apa saja untuk memperoleh jabatan serta melanggengkan kekuasaan. Namun semuanya akan berakhir tatkala wanita-wanita penggoda ini mulai menebar jaring kehancuran serta menjungkalkan kita dalam lembah kenistaan.
    Bukankah kekekalan Adam di surga terhapus dikarenakan menuruti dorongan nafsu hawa?

    BalasHapus